PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sastra Daerah merupakan aset kebudayaan yang harus dipelihara dan
dikembangkan. Hal ini disebabkan karena sastra daerah adalah rekaman cita,
rasa, dan karsa masyarakatnya, usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan
daerah tidak dapat dilepaskan dari upaya penggalian sumber-sumber kebudayaan
daerah. Dalam rangka memberikan corak dan karakteristik kepribadian daerah
sebagai gambaran yang berlangsung dan terseleksi secara turun-temurun meski
diadakan sebagai bahan pertimbangan dalam menjalankan otonomi daerah. Sastra
Daerah adalah warisan leluhur bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai budaya, falsafah, religious, etnis moral,
norma-norma tata krama disepanjang kehidupan kita.
Anggo termasuk dalam bentuk pantun yang berarti senandung atau puisi
rakyat yang dinyanyikan. Moanggo merupakan salah satu bentuk sastra lisan
masyarakat tolaki yang biasa disampaikan dengan saling berbalas-balasan secara
berkelompok misalnya dari kelompok laki-laki dan perempuan atau juga dalam
berbentuk monolog (perorangan). Moanggo pada mulanya adalah senandung atau
puisi rakyat yang dinyanyikan , baik pada saat santai dalam keluarga maupun acara-acara
adat dalam suku tolaki, seperti pada orang meninggal, pernikahan, pesta panen,
dan kegiatan-kegiatan adat lain dalam suku tolaki, yang dinyanyikan oleh juru
bicara kedua bela pihak. Kurangnya pemahaman tentang “Anggo” ini dan untuk memperkenalkan
budaya-budaya masyarakat tolaki, menjadi landasan kami sebagai penyusun makalah
ini untuk membahas tentang bentuk dan makna senandung-senandung atau anggo-anggo
dalam peletakan adat pada suku tolaki.
B.
Rumusan masalah
Analisis
bentuk,makna, dan fungsi anggo-anggo dalam peletakan adat tolaki, merupakan
rumusan masalah dalam makalah ini yang akan dibahas pada bab berikutnya.
Anggo-Anggo Ari Mombesara
He……
Tabea
Nggomasima, mongoni paramesi
Paramesi
mokole, masima anakia
Paramesi
inalolo, masima luwuako
He…..
Tabea
inggomiu tolea,
Kupondangaoko’o,
asondonde iwoi lilimano pongasi,
He….
Iwoi ate
pute, iwoi rahi mbenao,
Ato
lala’iki, ano nunulaiki,
Ato waraka
ako, ato mendidohaki,
Mowawosako
o sara, molako’ako peowai,
Tomorini
mbu’u mbundi, monapa mbu’u ndawaro,
Hiato
inu’ito aulau-launggee.
Terjemahan
“Senandung
atau Nyanyian-nyanyian dalam peletakan adat suku tolaki”
He……
Kiranya
kami meminta izin
Kepada yang
mulia raja
Dan izin
kepada semuanya
He…..
Yang kami
hormati dari tuan rumah
Kami
suguhkan segelas air sebagai pengganti arak
He…..
Air sebagai
ungkapan hati nurani yang paling dalam
Supaya
terus, dan turun temurun
Supaya kita
diberikan kesehatan, dan umur panjang
Dalam
menjalankan adat, serta melestarikan adat kebiasaan
Semoga kita
sedingin pohon pisang, dan sesejuk pohon sagu
Silahkan
langsung diminum.
PEMBAHASAN
Analisis Anggo-Anggo Ari Mombesara “Senandung atau Nyanyian-Nyanyian Dalam
Peletakan Adat Suku Tolaki”
Bentuk
adalah sesuatu yang terlihat secara lahiriah, yang terdiri dari tipografi
(bentuk penulisan) yang meliputi jumlah baris, jumlah suku kata, dan ritme (
irama). Sedangkan makna adalah sesuatu yang tidak terlihat secara lahiriah,
merupakan penggambaran secara harfiah dan secara konteks yang diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia.
I.
Bentuk penulisan (tipografi)
Bentuk
anggo
meliputi jumlah baris, jumlah kata, persajakan dan ritme (irama). Anggo
tersebut terdiri dari 3 bait dan 14 larik/
baris dan beberapa suku kata, sedangkan untuk jumlah kata terdiri dari 69 kata
dan bersajak bebas yang dapat dilihat jumlah larik dari tiap bait. sedangkan
untuk ritme (irama) anggo tersebut akan adalah berirama A-B-C. Tetapi akan terasa
bagus bila dinyanyikan sesuai orang yang membawakannya dalam hal ini juru
bicara (pabitara). Kalimat pada tiap Bait “Anggo” tersebut mempunyai
keterkaitan mulai dari bait pertama sampai bait terakhir.
II.
Makna dan Nilai-nilai yang Terkandung
Dalam
rincian makna moanggo terbagi atas nasehat, agama, sindiran, percintaan, dan
puji-pujian. Secara umum makna Anggo tersebut bermakna sebagai ungkapan kepada
kedua bela pihak untuk saling hidup rukun dan damai, serta ucapan rasa terima
kasih kepada semua pihak, yang telah berbaik hati menerima mereka untuk
melaksanakan prosesi adat tersebut. Secara khusus dijelaskan dalam bentuk
perbait dan perlarik.
Pada bait pertama dan kedua
merupakan ungkapan yang meminta izin kepada semua petinggi adat dan seluruh
masyarakat, serta kepada tuan rumah oleh juru bicara sebelum melaksanakan
prosesi upacara adat, dengan menyuguhkan arak dan air sebagai pengganti arak
tersebut.
Bait ketiga, larik 1,2, dan 3 merupakan ungkapan yang memaknai bahwa air
yang disuguhkan itu mempunyai makna sebagai wujud dari hati yang suci dan
bersih, supaya dalam melaksanakan prosesi adat tersebut tidak mempunyai
hambatan apapun dan turun temurun dalam melaksanakan adat itu “iwoi ate pute, iwoi rahi mbenao, ato
lala’iki, ato waraka ako, ato mendidohaki, mowawosako o sara.” Serta dalam
melestarikan kebiasaan itu, semoga
sedingin pohon pisang sesejuk pohon sagu.
“molako’ako peowai tomorini mbu’u mbundi, monapa mbu’u ndawaro.”
Kata-kata dalam anggo tersebut memiliki makna yang seuai dengan struktur
bahasa, yaitu makna denotatif dan makna konotatif. Makna denotatif merujuk pada
makna yang sebenarnya, pengertian dari kata itu sendiri secara harfiah.
Sedangkan makna konotatif merupakan makna yang tidak sebenarnya yang dibentuk
melalui penggunaan kata kias dan juga dapat penggunaan majas. Dalam anggo
tersebut terdapat beberapa majas yakni majas metafora pada baris satu sampai
baris kelima bait ketiga, dan majas metonimia pada bait kedua larik kedua.
Secara garis besar nilai-nilai yang terkandung dalam anggo tersebut adalah
nilai kebudayaan yang berhubungan dengan
adat kebiasaan, kesenian, dan upacara. Serta nilai estetika yang berhubungan
dengan keindahan bahasa dan bunyi bahasa.
III.
Fungsi Anggo
Fungsi
anggo merupakan wujud dari fungsi sastra lisan itu sendiri.
1.
Dengan anggo umat manusia khususnya bagi suku tolaki
akan mengekspresikan gejolak jiwanya dan renungannya tentang kehidupan.
2.
Dengan anggo dapat mengukuhkan hubungan solidaritas
dan menyegarkan pikiran serta perasaan anak pada saat akan tidur dengan
nyanyian, kelelahan bekerja ditawari dengan pantun, upacara-upacara adat dan
agama disampaikan pidato-pidato adat.
3.
Berfungsi untuk memuji raja, pemimpin-pemimpin, dan
orang-orang yang dianggap suci, keramat dan berwibawa oleh pihak pertama.
Dengan kata
lain bahwa Anggo mempunyai fungsi yang sangat erat dalam kehidupan masyarakat
tolaki pada khususnya dan seluruh rakyat Indonesia pada umumnya untuk
mempersatukan bangsa dengan nilai-nilai kebudayaan yang tinggi.
PENUTUP
Dari pembahasan diatas kami dapat membuat kesimpulan, bahwa “anggo” dalam
suku tolaki merupakan suatu sastra daerah yang harus dilestarikan, karena
dengan “moanggo” akan tercipta sebuah hubungan yang harmonis antar sesama
manusia, menyegarkan kembali pikiran-pikiran yang lelah yang diwujudkan dalam
bentuk, baik dalam bentuk pantun, nyanyian, pidato-pidato.
Makalah ini sangat sederhana dan masih banyak kekurangan, baik teori
maupun system penulisannya untuk itu sebagai penulis, kami sangat mengharapkan
tambahan pemikiran untuk kelengkapan pembahasan makalah kami ini. Demikian semoga makalah yang kami tulis ini
bisa menambah wawasan yang berkaitan dengan kesastra daerahan. Atas kritik dan
sarannya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Wendy Ratna
Dewi. 2009. Sematik Bahasa Indonesia. Klaten: Intan Pariwara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar